Antara Karya Seni dan Pornografi
Monday, 18 November 2013
0
comments
webneel.com |
Polemik mengenai apa yang disebut foto porno atau foto seni, sepertinya memang tidak akan tuntas disimpulkan untuk memuaskan semua pihak. Apalagi untuk dicari defenisinya secara tegas. Kendati demikian, sebetulnya Departemen Penerangan (Deppen) dahulu pernah memberi batasan yang pasti diketahui seluruh pemimpin redaksi media massa. Dalam aturan itu disebutkan, batasan pornografi pada gambar atau foto terletak pada ditampilkan tidaknya kemaluan, buah dada, serta pusar seseorang. Namun selain tidak konsisten dijalankan (misal : gambar seseorang yang terlihat pusarnya sudah sering kita lihat di berbagai media), oleh banyak kalangan batasan ini justru dipandang absurd dan cendrung melecehkan kesenian.
Ukuran untuk mengatakan suatu gambar porno atau artistik, sangat subjektif. Hal ini sangat berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang tubuh. Misalnya jika kita memotret seseorang yang badannya, katakanlah dianggap tidak indah bagi kebanyakan masyarakat sekarang, yakni tubuh yang gemuk, kemungkinan tidak menimbulkan berahi bagi yang melihat. " Apakah ini porno atau tidak? mungkin bukan pornografi kalau ukurannya apakah mengundang berahi atau semacamnya, tapi persoalannya ia kan telanjang?" seorang laki-laki atau perempuan gendut berdiri telanjang, bagi masyarakat kita dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak menarik, bahkan mungkin menjijikkan. sementara bisa juga seorang wanita berbaju lengkap justru menimbulkan rangsangan. Jadi ukuran-ukuran itu sangat relatif.
Batasan pornografi biasanya tidak memiliki deskripsi yang jelas. Dia akan punya deskripsi setelah terjadi apa yang disebut keputusan-keputusan pengadilan sebagai preseden. Tetapi pengadilan kita tidak memiliki kapastian hukum, sehingga penerjemahan terhadap apa itu pornografi hampir tidak pernah ada, karena kepastian hukumnya untuk kepentingan tertentu. Jadi tidak ada satu penerjemahan, karena penerjemahan dari pornografi itu terlalu luas, misalnya menurut hati nurani, mengganggu kepentingan umum.
Ada juga yang berpendapat bahwa ketelanjangan itu sangat relatif, tergantung ruang dan waktu. Pada ruang waktu sebelumnya mungkin telanjang dada itu tidak apa-apa. Tapi pada ruang waktu yang lain, telanjang dada dianggap porno. Jadi sejauh mana telanjang atau tidak disebut porno, hal ini sangat subjektif, tergantung pada motif orang yang melihat, serta tentunya tergantung pula pada motif kreatornya. Tapi celakanya ketika itu sudah menjadi komunikasi massa, maka ia akan tergantung kepada orang yang paling berwenang menjelaskan itu porno atau tidak, dalam hal ini kembali pemerintah atau orang yang merasa diri menjadi panutan masyarakat menjadi penentunya.
Jika sebuah karya itu motivasinya memang tidak pornografis, dan masyarakat kemudian menilai itu pornografis karena tokoh atau lembaga yang menilainya porno, disini timbul pertanyaan, adakah motif politik lain? misalnya isu pornografi dipakai sebagai salah satu isu, untuk nantinya mulai lagi pers dibredel, pers dibungkam.
Tentang motivasi di balik ketelanjangan ini, bahwa ada pula ketelanjangan yang digunakan murni untuk kepentingan bisnis, sehingga motivasi maupun pelaksanaannya di pasar sama seperti menjual produk-produk komersial. Ketelanjangan yang digunakan untuk komersial ya begitu. wanita muda, kulitnya putih, dada besar, mukanya dengan prototip tertentu. Nah, media yang demikian juga memuat iklan tentang bagaimana membesarkan payudara, bagaimana mengecilkan perut. Hal semacam inilah yang bisa berdampak destruktif pada masyarakat luas, seperti munculnya rendah diri pada orang-orang tertentu, dia butuh operasi plastik, silikon, dan lain-lain.
Yang membedakan seni dan porno adalah, seni dapat membuat masyarakat terinspirasi, sedangkan porno tidak. Jika ketelanjangan dimaksudkan untuk mengungkap kepribadian agar orang bisa melihat performance orang itu tanpa hiasan, itulah ukuran seni. Dahulu para pelukis membuat lukisan telanjang dari wanita yang gemuk, yang buah dadanya kecil, tetapi dilikis dengan pose tertentu sehingga muncul kepribadiannya. Ini menyadarkan banyak orang, bahwa sesuatu yang memiliki kepribadian dapat menimbulkan ke indahan., kendati ukuran tubuhnya tidak ideal. Tetapi ia dilukis sedemikian rupa dan ditampilkan kepribadiannya sehingga orang bisa menghargai. Bandingkan dengan ketelanjangan di Playboy, misalnya. Kalau dimajalah ini, tentu postur wanita tertentu saja yang bisa masuk, dan harus sesuai zamannya. Misalnya pada zaman twiggy yang mengidealkan tubuh sangat ramping, kurus, namun sekarang telah banyak bergeser ke tubuh yang montok, tetapi tetap saja ada prototipnya.
Ada juga yang berpendapat, untuk membuat foto yang art, tidak selalu harus jorok atau nude. Dan sangat disayangkan anggapan yang beredar bahwa fotografer akan hebat kalau memotret nude. Ini statment yang menyesatkan. Hal ini sebetulnya menjadi tanggung jawab para fotografer senior untuk memberikan pengarahan, bahwa anggapan demikian tidak benar, sehingga saat ini banyak diantara pemula hanya turut dalam arus.|foto Media|
THANKYOU FOR YOUR VISITE
Judul: Antara Karya Seni dan Pornografi
Ditulis oleh http://advertisingfashionfurniture.blogspot.com
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://advertisingfashionfurniture.blogspot.com/2013/11/antara-karya-seni-dan-pornografi.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh http://advertisingfashionfurniture.blogspot.com
Rating Blog 5 dari 5
0 comments:
Post a Comment